a person holding a stack of cash

Kasus LPEI: Dugaan Korupsi yang Berpotensi Rugikan Negara Rp11,7 Triliun

KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus pemberian fasilitas kredit yang diduga tidak sesuai aturan

HUKUM & KRIMINAL

MJK

3/4/20252 min baca

a bag filled with lots of money sitting on top of a table
a bag filled with lots of money sitting on top of a table

Kasus LPEI otewe masuk Klasemen Liga Korupsi Indonesia: Berpotensi Rugikan Negara Rp11,7 Triliun

Jakarta, 3 Maret 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap kasus dugaan korupsi yang menggemparkan publik. Kali ini, sorotan tertuju pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), sebuah badan usaha milik negara yang bertugas mendukung ekspor nasional. KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus pemberian fasilitas kredit yang diduga tidak sesuai aturan, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp11,7 triliun. Kasus ini menambah daftar panjang skandal korupsi di Indonesia yang merugikan keuangan negara dan mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.

Menurut Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo, kasus ini berawal dari pemberian kredit oleh LPEI kepada 11 debitur. Pemberian fasilitas tersebut diduga menyimpang dari prosedur yang berlaku, sehingga mengakibatkan potensi kerugian besar. "Pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada 11 debitur ini berpotensi mengakibatkan kerugian negara dengan total mencapai Rp11,7 triliun," ungkap Budi dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Senin (3/3/2025). Penyelidikan kasus ini telah dimulai sejak Maret 2024, menunjukkan kompleksitas dan waktu yang dibutuhkan untuk mengungkap praktik penyimpangan tersebut.

Dua dari lima tersangka yang diumumkan adalah pejabat tinggi LPEI, yaitu Direktur Pelaksana I Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV Arif Setiawan. Keterlibatan direksi dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan besar tentang tata kelola dan pengawasan internal di LPEI. Budi juga menyebutkan adanya indikasi pembuatan kontrak fiktif oleh salah satu debitur, PT Petro Energy, yang digunakan sebagai dasar pengajuan kredit. Ironisnya, direksi LPEI diduga mengetahui kejanggalan tersebut namun tidak melakukan verifikasi yang memadai.

Skala kerugian Rp11,7 triliun bukan angka kecil. Jika dibandingkan, jumlah tersebut jauh melampaui anggaran pembangunan infrastruktur penting seperti rumah sakit daerah (sekitar Rp400 miliar) atau sekolah (sekitar Rp50 miliar). Dampaknya tidak hanya dirasakan dalam bentuk kerugian finansial, tetapi juga menghambat upaya pemerintah meningkatkan daya saing ekspor nasional, yang menjadi misi utama LPEI. Kasus ini memperlihatkan bagaimana penyimpangan di tubuh institusi publik dapat merusak kesejahteraan rakyat secara massal.

Reaksi publik terhadap kasus ini pun beragam. Di media sosial seperti X, warganet menyuarakan kekecewaan dan kemarahan. Seorang pengguna menulis, "Negara darurat korupsi, sudah saatnya hukuman mati untuk para garong uang rakyat dan negara." Sentimen ini mencerminkan frustrasi masyarakat yang terus menyaksikan skandal korupsi berulang tanpa solusi tegas. Sementara itu, KPK belum merinci identitas 11 debitur yang menerima kredit bermasalah tersebut, tetapi penyelidikan terus berlanjut untuk mengungkap semua pihak yang terlibat.

Kasus LPEI ini menjadi pengingat bahwa pengawasan ketat dan integritas dalam pengelolaan keuangan negara masih menjadi tantangan besar. Dengan nilai kerugian yang fantastis, publik kini menantikan langkah lanjutan KPK untuk memastikan keadilan ditegakkan. Apakah kasus ini akan menjadi titik balik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, atau sekadar tambahan dalam daftar panjang "liga korupsi" yang ironis? Waktu yang akan menjawab, namun satu hal pasti: rakyat menuntut transparansi dan hukuman setimpal bagi pelaku.

MJK